Foto saya
Makassar, Sulawesi Selatan, Indonesia
Hobi menulis. Hanya bisa diam melihat ketidakadilan.

Sabtu, 29 November 2008

Asam dan Garam Bersahabat di Karampuang

Ini cerita tentang dua orang anggota Mahasiswa Pencinta Alam (Mapala) Universitas Fajar (Unifa) Makassar, Sulawesi Selatan. Mereka adalah Supyan Umar alias Pian dan Faisal alias Baygong. Dua orang ini memiliki kesamaan fisik dan cita-cita kemudian menjadi sahabat alam bebas. Keduanya, kerap pula menjadi objek lucu mahasiswa Universitas Fajar, khususnya di kalangan anak-anak mapala.

Mereka berdua ibarat peribahasa asam dan garam bertemu di belanga. Pian ibarat buah asam karena berasal dari sebuah kampung terpencil di Kecamatan Sudu, Kabupaten Enrekang. Letak kampungnya di kaki gugusan Pegunungan Latimojong. Sedangkan Baygong bagai garam. Ia datang dari Pulau Kodingareng, sebuah pulau kecil nan indah berjarak sekitar 10 mil dari garis Pantai Losari. Belanganya adalah Mapala Universitas Fajar yang bermarkas di Kampung Karampuang Jalan Racing Centre nomor 101 Makassar.

Supyan Umar lahir 25 tahun lalu. Tahun 2001 ia terdaftar sebagai mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (Stikom Fajar) yang telah berubah status menjadi Universitas Fajar pada bulan September 2008. Baygong yang lahir di pulaunya tercinta 23 tahun lampau, juga kuliah di fakultas dan jurusan yang sama. Ia terdaftar sebagai mahasiswa angkatan tahun 2004. Pian mengikuti pendidikan dasar Mapala Unifa tahun 2002 sedangkan Baygong tahun 2005.

Penampilan fisik Pian dan Baygong nyaris sama. Apa adanya. Memakai baju dan celana apa pun asalkan pas di badan tanpa harus pusing dengan keserasian warna maupun model. Rambut yang jarang disentuh sisir plus wajah yang kurang beruntung membuat kondisi mereka cukup memprihatinkan. Wajarlah jika ratusan mahasiswi Unifa tidak seorang pun yang melirik mereka apalagi sampai jatuh cinta. Ironisnya, Pian dan Baygong juga enggan jatuh cinta kepada mahasiswi berwajah biasa-biasa saja.

Walau begitu, keberadaan keduanya di Mapala Unifa sangat diperhitungkan dan dirindukan. Mereka memiliki loyalitas tinggi. Senatiasa memberikan seluruh waktu, tenaga, pikiran dan materi untuk organisasi. Yang menjadikan sekretariat Mapala Unifa sebagai rumah keduanya dan alam bebas sebagai kerinduannya. Mereka adalah orang-orang yang berhati ikhlas dalam melaksanakan tugas-tugas organisasi dan berhati tulus membantu orang lain.

Keduanya pun ingin menjadi wartawan. Entah dari mana ilhamnya. Jika dilihat dari luar, siapa pun yang menilainya, pasti akan berkesimpulan sama. Bahwa mereka tidak ada tampang wartawan. Bukan karena penampilan fisik dan wajah mereka yang amburadul melainkan karena gaya bicara mereka yang kadang gagap. “Ngomong aja sulit, gimana bisa jadi wartawan,” kata Eki, rekan mereka di Mapala Unifa.

Salah. Penilaian itu ternyata salah. Sebab mereka ternyata bisa dan cukup potensial. Mereka ternyata orang-orang yang kurang pandai berdiplomasi namun memiliki bakat menulis. Setidaknya, bakat menulis dan menjadi wartawan telah diperlihatkan Pian saat menjadi wartawan magang di Harian Radar Bulukumba dan diperlihatkan Baygong saat menjadi wartawan magang di Harian Sindo Makassar. Untuk ukuran orang yang sedang belajar mereka sudah cukup bagus. Jika diasah dengan baik, mereka pasti bisa bersaing dengan wartawan-wartawan senior.

Pelajarannya, selalu-lah percaya pada kata bijak yang mengatakan jangan nilai seseorang dari penampilan fisiknya. Sebab, dari fisik yang menyeramkan kadang tersimpan mutiara kebaikan hati dan kepandaian yang terpendam.(*)

Tidak ada komentar: