Foto saya
Makassar, Sulawesi Selatan, Indonesia
Hobi menulis. Hanya bisa diam melihat ketidakadilan.

Kamis, 04 Desember 2008

Aku Ingin

Aku ingin seperti Ebit G Ade.
Mengubah bahasa kalbu menjadi syair lagu yang indah. Membuat setiap orang terdiam dalam penghayatan makna cinta yang agung. Terhadap sesama manusia, alam dan Tuhan. Berharap, petikan gitarku membuat setiap orang terbuai dalam cerita cinta dan kehidupan yang tengah dijalaninya.
Tetapi, aku tak bisa bernyanyi dan memainkan gitar.

Aku ingin seperti Soe Hok Gie.
Mengadu pada puncak gunung, hutan dan lembah ketika mata tak lagi mampu melihat kesewenang-wenangan. Ketika mulut hanya bisa diam dalam belenggu pikiran yang tidak tahu harus berbuat apa. Membiarkan jiwaku larut dalam kedamaian alam hingga tak lagi merasakan dingin, panas dan marah.
Tetapi, aku terlalu takut mati muda.

Aku ingin seperti Andrea Hirata.
Keliling dunia sebagai seorang back packer. Melihat keindahan alam dan keragaman budaya yang ada di bumi. Meninggalkan kehangatan rumah dan keluarga untuk sebuah cerita panjang yang saban malam mengisi mimpi dan fantasiku.
Tetapi, aku tak mampu berjalan jauh.

Kusadari, anugerahku hanya menjadi orang biasa-biasa saja.

Sabtu, 29 November 2008

Asam dan Garam Bersahabat di Karampuang

Ini cerita tentang dua orang anggota Mahasiswa Pencinta Alam (Mapala) Universitas Fajar (Unifa) Makassar, Sulawesi Selatan. Mereka adalah Supyan Umar alias Pian dan Faisal alias Baygong. Dua orang ini memiliki kesamaan fisik dan cita-cita kemudian menjadi sahabat alam bebas. Keduanya, kerap pula menjadi objek lucu mahasiswa Universitas Fajar, khususnya di kalangan anak-anak mapala.

Mereka berdua ibarat peribahasa asam dan garam bertemu di belanga. Pian ibarat buah asam karena berasal dari sebuah kampung terpencil di Kecamatan Sudu, Kabupaten Enrekang. Letak kampungnya di kaki gugusan Pegunungan Latimojong. Sedangkan Baygong bagai garam. Ia datang dari Pulau Kodingareng, sebuah pulau kecil nan indah berjarak sekitar 10 mil dari garis Pantai Losari. Belanganya adalah Mapala Universitas Fajar yang bermarkas di Kampung Karampuang Jalan Racing Centre nomor 101 Makassar.

Supyan Umar lahir 25 tahun lalu. Tahun 2001 ia terdaftar sebagai mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (Stikom Fajar) yang telah berubah status menjadi Universitas Fajar pada bulan September 2008. Baygong yang lahir di pulaunya tercinta 23 tahun lampau, juga kuliah di fakultas dan jurusan yang sama. Ia terdaftar sebagai mahasiswa angkatan tahun 2004. Pian mengikuti pendidikan dasar Mapala Unifa tahun 2002 sedangkan Baygong tahun 2005.

Penampilan fisik Pian dan Baygong nyaris sama. Apa adanya. Memakai baju dan celana apa pun asalkan pas di badan tanpa harus pusing dengan keserasian warna maupun model. Rambut yang jarang disentuh sisir plus wajah yang kurang beruntung membuat kondisi mereka cukup memprihatinkan. Wajarlah jika ratusan mahasiswi Unifa tidak seorang pun yang melirik mereka apalagi sampai jatuh cinta. Ironisnya, Pian dan Baygong juga enggan jatuh cinta kepada mahasiswi berwajah biasa-biasa saja.

Walau begitu, keberadaan keduanya di Mapala Unifa sangat diperhitungkan dan dirindukan. Mereka memiliki loyalitas tinggi. Senatiasa memberikan seluruh waktu, tenaga, pikiran dan materi untuk organisasi. Yang menjadikan sekretariat Mapala Unifa sebagai rumah keduanya dan alam bebas sebagai kerinduannya. Mereka adalah orang-orang yang berhati ikhlas dalam melaksanakan tugas-tugas organisasi dan berhati tulus membantu orang lain.

Keduanya pun ingin menjadi wartawan. Entah dari mana ilhamnya. Jika dilihat dari luar, siapa pun yang menilainya, pasti akan berkesimpulan sama. Bahwa mereka tidak ada tampang wartawan. Bukan karena penampilan fisik dan wajah mereka yang amburadul melainkan karena gaya bicara mereka yang kadang gagap. “Ngomong aja sulit, gimana bisa jadi wartawan,” kata Eki, rekan mereka di Mapala Unifa.

Salah. Penilaian itu ternyata salah. Sebab mereka ternyata bisa dan cukup potensial. Mereka ternyata orang-orang yang kurang pandai berdiplomasi namun memiliki bakat menulis. Setidaknya, bakat menulis dan menjadi wartawan telah diperlihatkan Pian saat menjadi wartawan magang di Harian Radar Bulukumba dan diperlihatkan Baygong saat menjadi wartawan magang di Harian Sindo Makassar. Untuk ukuran orang yang sedang belajar mereka sudah cukup bagus. Jika diasah dengan baik, mereka pasti bisa bersaing dengan wartawan-wartawan senior.

Pelajarannya, selalu-lah percaya pada kata bijak yang mengatakan jangan nilai seseorang dari penampilan fisiknya. Sebab, dari fisik yang menyeramkan kadang tersimpan mutiara kebaikan hati dan kepandaian yang terpendam.(*)

Rabu, 26 November 2008

Daeng Mandong, Patriotisme Tertutup Kabut

Tinggal sendiri di lembah dengan suhu udara rata-rata 15 derajat celcius pada malam hari. Tidur di gubuk seadanya. Honor yang tidak jelas dengan tanggung jawab maha besar menjaga jutaan pohon dan bibit-bibit pohon yang di tanam di ratusan hektar tanah lembah itu--dari gergaji para perambah hutan. Mungkin, hanya Daeng Mandong seorang yang menginginkannya. Melaksanakan tanggung jawab itu dengan hati ikhlas.

Pria berusia sekitar 65 tahun ini, memiliki banyak keluarga di Desa Manimbahoi Kecamataan Tinggi Moncong, sekitar 10 kilometer dari kawasan wisata Malino, Kabupaten Gowa. Namun, ia telah memilih jalan hidupnya. Mengabadikan diri untuk menjaga hutan Lembah Ramma.

Daeng Mandong menyerahkan sebidang kebunnya di Desa Manimbahoi untuk digarap oleh keponakannya lalu memilih tinggal sendiri di lembah yang berada di ketinggian 1500 meter di atas permukaaan laut di sebelah barat Gunung Bawakaraeng. Jarak Desa Manimbahoi ke Lembah Ramma sekitar tiga jam berjalan kaki.

Sejak tahun 80-an, pak tua yang lihai bermain kecapi buatan sendiri ini, bekerja sebagai penjaga hutan dan lembah lokasi reboisasi Dinas Kehutanan Kabupaten Gowa. Sudah empat lokasi yang dijaganya. Lembah Ramma, adalah lokasi terakhir. Daeng Mandong sudah delapan tahun menjaga lembah yang dijadikan tempat menggembalakan sapi oleh masyarakat Desa Lengkese dan Manimbahoi ini.

Saksi mata saat dinding Gunung Bawakaraeng di pos sembilan dan delapan sepanjang sekitar satu kilometer runtuh karena longsor tahun 2004 lalu ini, sangat merasakan betapa dahsyat bencana yang dapat terjadi jika gunung dan hutan telah gundul. Banyak keluarganya yang meninggal karena tersapu longsoran ini. Banyak keluarganya yang kehilangan tempat tinggal. Ia menangis, karena ia merasa gagal menjaga alam untuk tetap bersahabat dan selalu memamerkan keindahannya.

Saban hari, tanpa alas kaki, celana pendek, baju lusuh dan kopiah hitam serta sarung lecek yang diselempangkan di pundak, Daeng Mandong mengelilingi Lembah Ramma. Memantau setiap jengkal tanah lembah. Selalu berharap tidak mendengar suara gergaji merobohkkan pepohonan atau sapi-sapi gembalaan menginjak-injak bibit pohon yang telah di tanam.

Ia menceritakan, puluhan tahun menjaga kawasan reboisasi, puluhan kali pula pelaku-pelaku illegal logging yang dipergokinya berupaya menyuap. Nilainya antara Rp 50 ribu hingga Rp 300 ribu. Hatinya selalu kukuh menolak. “Kalau saya terima uang suap itu, maka saya sudah tidak bisa menjaga hutan karena saya pasti tidak bisa lagi berbuat apa-apa menghadapi orang-orang seperti itu,” katanya dalam bahasa Makassar.

Beberapa kali, Daeng Mandong hendak di keroyok dan diancam dibunuh saat mengusir para perambah. Diantara para perambah hutan itu, ada juga keluarganya. Suatu waktu, katanya, ia hendak dipukul oleh seorang keluarganya karena tidak diterima ditegur saat membuang sisa pupuk tanaman di sungai yang membelah Lembah Ramma. “Siapa pun tidak boleh mengotori sungai ini, karena airnya dikonsumsi oleh masyarakat di kampung,” ujarnya.

Tiga bulan sekali, Daeng Mandong mengunjungi kantor cabang Dinas Kehutanan Malino untuk menerima honor. Menurutnya, jumlah honornya tidak pasti. Kadang Rp 150 ribu kadang lebih. Tidak soal, katanya. Yang penting cukup untuk membeli beras dan tembakau. Sesekali, pegawai Dinas Kehutanan mengunjunginya. Memantau kondisi lahan reboisasi sekaligus membawakannya tembakau dan makanan. Daeng Mandong kadang diberi mi instan dan biskuit oleh kelompok-kelompok pencinta alam atau mahasiswa yang berkemah di lembah ini.

Tiap hari Sabtu dan Minggu, Lembah Ramma ramai didatangi kelompok-kelompok pencinta alam dan mahasiswa. Biasanya, kelompok pencinta alam ke Ramma melalui Kampung Lembanna, Kelurahan Bulu Tana, Kecamatan Tinggi Moncong. Jarak Kampung Lembanna dengan Lembah Ramma sekitar empat jam berjalan kaki menyusuri hutan kaki Gunung Bawakaraeng. Jalur yang cukup landai dengan sajian pemandangan yang sangat indah membuat lembah ini, menjadi lokasi favorit kelompok pencinta alam untuk berakhir pekan.

Di samping gubuknya, Daeng Mandong membuat tambak ikan mas. Pekerjaan sampingan ini, mulai ia rintis empat bulan lalu. Meski bekerja sendiri, Daeng Mandong berhasil membuat tambak ikan seluas sekitar 70 meter persegi kurang dari satu bulan.

Malam hari, Daeng Mandong menghibur diri dengan bermain kecapi sembari melantunkan lagu-lagu berbahasa Makassar. Di gubuk berukuran 3x3 meter ini, hanya ada tungku api, dua buah panci kecil, beberapa gelas dan piring plastik. Sebuah tikar lusuh menjadi alas tidur.

Pengabdian Daeng Mandong adalah barang langka yang mesti mendapat perhatian lebih dari pemerintah. Meski pun ia tidak pernah berharap apalagi menuntut. Seperti ia tidak pernah menuntut diberi uang pengobatan saat kening mata kanannya dan kedua tangannya terbakar api saat berupaya memadamkan kebakaran hutan di Lembah Lohe yang dijaganya sebelum menjaga Lembah Ramma.(*)